Ini Hanya Blog Biasa yang Menyediakan Informasi Hal-hal Menarik Tentang Aceh.
Kuah Pliek-U, Gulai Para Raja
Masakan atau gulai khas Aceh.
Okezine - Template
Mesjid Raya Baiturrahman
Saksi bisu sejarah Aceh.
Okezine - Template
Tari Saman
Satu ciri menarik dari tari Aceh
..
Prev 1 2 3 Next

Wednesday 15 August 2012

17 Bupati Penjaga Kelestarian Budaya



Meretas perjalanan Pemerintahan Kabupaten Aceh Selatan sejak tahun 1945 atau sejak masih bergabung dengan empat kabupaten/kota sebelum dimekarkan, 17 bupati menjadi ujung tombak terjaganya kelestarian adat budaya dan rumpun bahasa di daerah berjuluk Kota Naga ini.Semua kepala pemerintahan ini memegang teguh kiasan bahasa aneuk jamee, “indak lapuk kareno hujan, indak lakang karano paneeh” artinya, tidak lapuk karena hujan tidak lekang karena panas, bermakna adat akan selalu terjaga walau dengan berbagai cobaan dan permasalahan dihadapinya.

Perjalanan waktu tentang adat-istiadat, budaya dan tradisional kadang kala sering terpental dari ingatan manusia bahkan tergilas roda zaman akibat pengaruh maoderenisasi. Namun beda halnya dengan Aceh Selatan, adat istiadat dan tradisi daerah tetap lestari sepenjang zaman, semua itu tidak pernah sirna berkat kerjasama dan pelestarian masyarakat dengan para pemimpin. Sejak dulu, adat Aceh dan bahasanya masih lekat bagi masyarakat kabupaten Aceh Selatan, realisasi waris dari semboyan, “Adat bak phou Teumeureuhom, hukom bak Syiahkuala, Qanun bak meuntro Phang, Reusam bak Laksamana” selalu dijunjung tinggi oleh masyarakat yang kaya kebudayaan dan menganut empat bahasa itu.

Selain bahasa Aceh dan adat Aceh, Kabuapten Aceh Selatan juga diperkaya bahasa Kluet dan adat Kluet yang diwarisi seorang Raja Pemimpin Kerayaan Keluet bernama Raja Ngang. Konon, menurut sejarah, Raja Ngang mempunyai tiga orang permaisuri yang berasal dari silsilah Keluet, suku Tanah Karo dan Daratan Tinggi Alas atau daerah sejuk Gayo.

Berawal dari Kerajaan Keluet, akhirnya tumbuh peradaban, bahasa dan kebudayaan Kluet yang tidak pernah pudar bagi masyarakat Kluet Raya dan sekitarnya. Bahasa dan Adat Istiadat Kluet telah menjadi komunitas terpenting dalam kehidupan masyarakat Aceh Selatan. Bukan hanya sekedar basa-basi, adat perkawinan, keselamatan bahkan kenduri maulitpun masih digunakan tradisi Kluet.

Sementara itu, bahasa Aneuk jamee berasal dari bahasa Minang Kabau (Sumatera Barat). Bahasa Aneuk Jamee masuk ke wilayah Aceh Selatan melalui perantaraan para saudagar Padang yang berniaga ke pesisir Aceh. Pada zaman itu transportasi laut menggunakan Kapal Layar (Donggala-red). Entah karena angin kencang Kapal dagangan saudagar Minang mendarat dipesisir Tapaktuan.
Kedatangan para saudagar dari Sumatera Barat itu disambut dengan ramah tamah dan dimuliakan oleh penduduk Tapaktuan dan sekitarnya. Penduduk menyapa atau menyebut pendatang tersebut dengan sebutan aneuk Jamee (tamu-red). Mulai saat itulah bahasa Minang diadopsi menjadi bahasa aneuk Jamee.

Sejak pendaratan pertama, akhirnya para saudagar Sumatera Barat semakin sering datang ke Tapaktuan, bahkan mempersunting gadis setempat sebagai isteri. Sehingga sejumlah pendatang asal Minang Kabau menetap dan turut mengabadikan adat istiadat minang di Aceh Selatan.

Dalam melestarikan adat istiadat dan bahasa digunakan masyarakat Aceh Selatan, 17 Pemimpin Aceh Selatan senantiasa mempertahankan semua adat kebuadayaan terkandung di bumi Aceh Selatan. Sebuah bukti nyata dari peran pemerintah, setiap Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) selalu menampilkan dan memperlombakan adat budaya Kluet, Aneuk jamee, sebagai simbul ketenaran daerah Pala.

Hasilnya, pada PKA-IV, anjungan atau kontingen Aceh Selatan dibawah kepemimpinan bupati Ir. H. Machsalmina Ali, MM, menjadi juara umum PKA dibuka oleh Presiden RI, Mega Wati Soekarno Putri. Menyusul pada PKA-5 terjadi polemik, karena martabat dan harga diri Aceh Selatan merasa dilecehkan, Presiden Susilo Bambang Yhudiyono gagal mengunjungi Anjungan Aceh Selatan, padahal sudah dimasukkan dalam agenda. Walaupun Aceh Selatan hengkang dari arena PKA, namun telah banyak memperoleh kemenanganan dan tropi serta bonus, namun tidak diambil panitia, salah satunya pelaminan perkawinan Adat Kluet dan kesenian tradisional.

Mari kita telusuri siapa-siapa saja 17 memimpin Aceh Selatan sejak tahun 1945 sampai tahun 2013, telah bersusah payah mempertahankan, melestarikan dan memperkokoh adat budaya serta berjuang untuk membangun kabupaten Aceh Selatan.

Aceh Selatan pertama kali dipimpin oleh M.Sahim Hasyim (1945-1948), menyusul; M.Husen (1948-1949), H. Gaffur Akhir (1949-1950), Kamarusyid (1950-1955), Abdul Wahid Dahlawi (1955-1956). Kemudian, M.Yunan (1956-1957), M.Sahim Hasyimi (1957-1960), T. Cut Mamat (1960-1965), Kasim Tagok (1965-1970), Teuku Daud (1970-1971), Drs. Sukardi Is (1971-1983) atau dua periode, Drs. Ridwansyah (1983-1985), H. Zainal Abidin (1985-1988), Drs. H. Said Mudhahar Ahmad (1988-1993), Drs. H. Muhammad Sari Subki (1993-1998). Ir. H. Teuku Machsalmina Ali, MM, dua periode (1998-2003) dan (2003-2008). Husin Yusuf, S.Pdi (bupati sekarang, periode 2008-2013).

Rangkuman ini tidak bermaksud membangkitkan batang terendam, tetapi sekedar mengingatkan sosok dan sepak terjang para pemimpin Aceh Selatan. Salam kami Rakyat Aceh kepada semua kerabat dan generasi penerus dari 16 mantan bupati serta bupati yang masih berkuasa, semoga jasanya dalam membangun Aceh Selatan menjadi kenangan bagi rakyat.

sumber : rakyataceh.com (Visit This Website Now)

0 comments: